Free Will...... "Sebuah Kisah Inspiratif"


Letto : My Liberty, good bye…
Queen : I Want to break free….

Tulisan dibawah ini adalah kajian singkat berbagai pemikiran, mimpi, kebutuhan dan kehendak akan kebebasan.

Manusia dilahirkan dalam keadaan yang tidak bebas. Banyak faktor determinis yang menyebabkan manusia tersebut tidak bebas. Determinisme biologis ( terkusus hereditas), lingkungan, ruang dan waktu, serta dialektika manusia terbentuk sedemikian rupa dalam konstruk peradaan. Oleh karena itu impian akan kebebasan (freedom) adalah motif laten yang muncul melampaui perbedaan bangsa, suku, agama, kebudayaan, dan primordialisme.

Kehendak untuk kebebasan itu sendiri, oleh Erich Fromm telah dijadikan sebagai motif yang mendasari segala perilaku manusia. Sebagai salah seorang pakar psikologi paling berpengaruh dia abad XX, Fromm mendasarkan ide tentang kebebasan sebagai bentuk usaha, karena sejak dilahirkan, manusia telah terkekang dengan berbagai kebutuhan fisiologis dan sosial. Bertolak dari itulah itulah Fromm mengawinkan pandangan Sigmund Freud (materialis determinis) dan Karl Marx (materialis dialektis) untuk kemudian merumuskan ide tentang kebebasannya.
Freud mengemukakan ide bawasannya manusia bukanlah makhuk yang bebas. Karakter seseorang sangat ditentukan oleh peristiwa – peristiwa masa lalu yang secara psikologis sangat mempengaruhi pembentukan karakter, terutama pada masa perkembangan determinis atau secara umum lebih dikenal sebagai periode golden age. Saking determinannya usia golden age ini, hingga Freud pernah berujar bahwa “Apa yang terjadi dengan anda hari ini, akan menentukan siapa anda di masa depan”.

Tidak hanya itu, menurut Freud Insting juga factor yang sangat determinan. Insting, sebagai sumber energi psikis, secara kuantitatif mengumpulkan ketidak seimbangan pada proses fisiologis (haus, lapar, sex, istirahat/ weteng lang ngisore weteng) untuk kemudian diubah menjaadi energi psikis. Energi ini digunakan sebagai “bahan bakar” untuk memenuhi dorongan – dorongan fisiologis tadi dan menyingkirkan hal – hal penghalang dalam usaha pemenuhan kebutuhan tersebut. Oleh karena itu, Para kritikus Freud (kiri Freud) memandang teorinya sebagai materialis-determinis.

Sementara itu, Marx, menjadi inspirator lainnya, mengemukakan determinisme sosial sebagai pembatas gerak manusia. Apa dan bagaimana seseorang, merupakan refleksi dari masyarakat tempatnya hidup dan berkembang. Pada abad pertengahan manusia menyandarkan hidup pada rantai eksistensi. Di zaman itu, anak petani akan melanjutkan takdirnya dengan menjadi seorang petani (seperti orang tuanya). Juga, jika ayahnya adalah raja, maka kelak dia akan menjadi penerus tahta kerajaan. Perempuan juga tidak luput dari rantai eksistensi. Pada abad pertengahan ini, peran bagi seorang perempuan sangatlah terbatas.
Betapa menyesakkan melihat kembali kehidupan pada abad pertengahan yang sederhana tapi berat seperti ini. Belum lagi kedatangan modernisasi yang lebih banyak mengartikan manusia sebagai konsumen dan pekerja. Ini menggambarkan bahwasannya manusia tidak bisa lepas dari struktur-struktur sosial masyarakatnya.

Bertolak dari pemikiran kedua tokoh tersebut -bahwasannya manusia adalah makhluk yang tidak bebas, Fromm mencetuskan ide tentang kebebasannya. Kebebasan manusia akan diperoleh apabila telah melampaui determinisme Freud dan Marx. Fromm menaruh apresiasi yang tinggi terhadap manusia yang selalu berjuang tanpa henti, sampai akhir untuk mancari dan mewujudkan kebebasannya. Kebebasan yang lebih bersifat pribadi. Tetapi sekali lagi Fromm pernah bertanya, ”Manusia mungkin bisa bebas tetapi untuk apa?”

Dari pandangan eksistensial-humanistik, Maslow menggambarkan konsep kebebasan lebih maju dari Fromm. Dalam hierarki kebutuhan maslow, kebebasan berada dalam tingkatan harga diri (Esteem). Jadi harga diri adalah konsekuensi logis ketika seseorang telah memenuhi kebutuhan yang lebih mendasar seperti fisiologi, rasa aman, cinta dan saling percaya. Harga diri, dalam konsep Maslow terbentuk dari konstruk – konstruk kebebasan disamping rasa percaya diri, kompetensi, kesuksesan, independensi (kebebasan) dan kekuasaan.

Ketika kebutuhan - kebutuhan pada tingkat sebelumnya (fisiologis, rasa aman, cinta dan saling percaya, esteem) telah terpenuhi, maka menusia bisa dikatakan telah meraih kebebasnnya. Tetapi Kemudian, di dalam kebebasannya ini seseorang hendak melakukan apa?

Maslow tidak berhenti sampai disini, ketika esteem (kebebasan) telah dipenuhi, maka seseorang telah sampai pada tingkatan kebutuhan yang paling tinggi, yaitu aktualisasi diri (meta need). Secara mudah kebutuhan ini adalah upaya ”unik” manusia untuk terus-menerus mewujudkan potensi – potensi yang ada dan menjadi diri sendiri sepenuhnya. Potensi tersebut diasah dan diaktualisasikan dengan baik sehingga menghadirkan manfaat bagi semua. Aktualisasi diri tidak dapat diukur dari sejumlah materi, uang, atau apapun yang dianggap pantas untuk menggantikannya. Mengukur aktualisasi diri adalah dari kebahagiaan (kebutuhan kepuasan batiniah) yang tercipta dari usahanya tersebut. Jadi puncak dari aktualisasi diri adalah kebahagiaan.

Bertolak dari sini kita dapat memahami bahwasannya kebahagiaan adalah keadaan yang lebih tinggi dari kebebasan. Bisa juga diartikan bahwa kebahagiaan adalah tujuan dari kebebasan itu sendiri.

Tetapi, selama menuliskan teori psikologi eksistensial-humanistiknya, Maslow menyimpulkan bahwa humanistik bukan merupakan akhir, tetapi adalah suatu proses/transisi menuju tingkatan yang lebih tinggi lagi yaitu Psikologi Transpersonal. Trans (melampaui) dan personal (pribadi), yaitu mazhab Psikologi yang membahas manusia tak hanya sebagai pribadi saja. Lebih dari itu, Transpersonal juga membahas transedensi menusia dalam konstelasi alam semesta, tingkat kesadaran yang lebih tinggi (intuisi), dan pengalaman mistis sebagai pengalaman spiritual manusia sebagai makhluk ciptaan dari Dzat yang lebih tinggi (Tuhan).

Sebelum membahas kemanakah pencarian jejak kebebasan tersebut dilanjutkan, penulis ingin memulai dari narasi modernisme. Dalam perspektif historis, prinsip materialisme telah membangkitkan semangat penemuan ilmu-ilmu modern, dengan penemuan dan penciptaan teknologi modern, sesungguhnya banyak berawal dari sebuah asumsi awal bahwa keseluruhan kenyataan obyektif yang secara empiric terjadi harus dapat dijelaskan melalui pendekatan mekanik dan hukum – hukum fisik. Melalui pendekatan – pendekatan tersebut, maka kejadian – kejadian dan perubahan –perubahan di dunia yang selama ini belum bisa dijelaskan, pada akhirnya bisa dipaparkan melalui bukti – bukti empiris, logis dan ilmiah.

Kesalahan utama dalam pendekatan ini adalah adanya keterputusan manusia dengan nilai – nilai transendental (adi-kodrati), karena dunia hanya dipahami sebagai suatu materi atau benda, yang tidak mempunyai hubungan dengan kekuatan – kekuatan gaib di luar dunia. Keterputusan tersebut menjadi awal keterpisahan antara (aspek kognisi) manusia dengan kebenaran agama. Agama , karena berada diluar batas – batas empiris, menjadi materi yang jauh dari jangkauan kebenaran pengetahuan manusia, karena tidak teruji secara empiris. Kritik atas pendekatan modern yang empiris-logis-ilmiah ini adalah adanya keterputusan manusia dengan Tuhan, juga karena tidaklah mungkin manusia dapat selalu menemukan kategori kebenaran melalui eksperimen empiris dengan panca inderanya.

Dalam peradaban seperti inilah uang menjadi variabel ke”bebas”an yang digunakan untuk mengukur tingkat kebahagiaan seseorang. Kebebasan diukur dari kepemilikan materi berdasar ”rekomendasi-rekomendasi” kapitalis lewat teknik pemasaran dan kepiawaiannya menciptakan ”panggung impian” dalam pikiran seseorang hingga berakhir pada kebahagiaan semu.
Dari teori ”energi dan frekuensi” a la Cak Emha, mengemukakan bahwa pada saatnya, manusia akan sampai pad titik jenuh pada pencarian kebahagiaan eksternal (materi). Imperialisme materi ini akan mencapai titik kulminasi dan menyadarkan bahwasannya bahwasannya manusia bukanlah makhluk berdimensi materi saja, tetapi juga dimensi2 spiritual. dari sini antitesis terjadi, seseorang akan mencoba mencari kebahagiaan internal yang tak lain adalah cinta yang transenden. Hal ini diyakini jauh lebih memenuhi kebutuhan manusia secara utuh dan saling melengkapi dengan kebahagiaan eksternal.

Melanjutkan aksioma tentang kebahagiaan internal ini, sejak lebih dari 800 tahun yang lalu para Sufi dari Arab, persia, Turki dan sekitarnya telah menggali sebuah konsep kebahagiaan internal. Kebahagiaan ini dianggap bebas nilai, artinya, karena dari dalam ”hati”, siapa saja dapat meraihnya tanpa imperialisme materi. Dalam kajian psikologi sufi, pencapaian kebahagiaan mempunyai metode yang khas yaitu Freedom from the Self. Artinya, dualisme ”aku” (self) dan ”engkau”(realitas universal/ Tuhan, Haqq) menyebabkan keterasingan pada seseorang. Perasaan terasing ini mendorong berbagai hasrat, keinginan dan juga penyakit hati (psikis -pen). Selama seseorang masih perperangkap dalam dikotomi ”aku” dan ”engkau” Ini menjadikan manusia tidak bebas. Jalan yang ditempuh para sufi adalah menghilangkan ke”aku”an dan menyatu dengan ”engkau”.

Abu Yasid pernah mendeskripsikan tentang keinginannya terbebas dari ”aku” dan menyatu dengan ”engkau” sebagai berikut :
”Di setiap Ia menawariku sebuah kerajaan, tetapi aku menolaknya. Tuhan berkata padaku ’Abu yasid, apa yang kamu inginkan?’ aku menjawab: aku ingin tak punya keinginan...”
Para sufi merasa bahwa nafas hidup pemberian Tuhan kepada manusia merupakan potensi untuk menjalin hubungan dengan yang dicintainya dan mencapai kesatuan bersama. Kematangan dan kebebasan manusia dapat dicapai dengan memenuhi siklus evolusi dan kembali ke asalnya, yaitu realitas universal (Tuhan, Haqq).

0 komentar: