Pengertian Sikap dan Perilaku


Banyak sosiolog dan psikolog memberi batasan bahwa sikap merupakan
kecenderungan individu untuk merespon dengan cara yang khusus terhadap
stimulus yang ada dalam lingkungan sosial. Sikap merupakan suatu
kecenderungan untuk mendekat atau menghindar, posotitif atau negatif
terhadap berbagai keadaan sosial, apakah itu institusi, pribadi,
situasi, ide, konsep dan sebagainya (Howard dan Kendler, 1974;
Gerungan, 2000).

Gagne (1974) mengatakan bahwa sikap merupakan suatu
keadaan internal (internal state) yang mempengaruhi pilihan tidakan
individu terhadap beberapa obyek, pribadi, dan peristiwa. Masih banyak
lagi definisi sikap yang lain, sebenarnya agak berlainan, akan tetapi
keragaman pengertian tersebut disebabkan oleh sudut pandang dari
penulis yang berbeda. Namun demikian, jika dicermati hampir semua
batasan sikap memiliki kesamaan padang, bahwa sikap merupakan suatu
keadaan internal atau keadaan yang masih ada dalam dari manusia.
Keadaan internal tersebut berupa keyakinan yang diperoleh dari proses
akomodasi dan asimilasi pengetahuan yang mereka dapatkan, sebagaimana
pendapat Piaget’s tentang proses perkembangan kognitif manusia
(Wadworth, 1971).


Keyakinan diri inilah yang mempengaruhi respon pribadi terhadap obyek dan lingkungan sosialnya. Jika kita yakin bahwa mencuri adalah perbuatan tercela, maka ada kecenderungan dalam diri kita untuk menghindar dari perbuatan mencuri atau menghidar terhadap lingkungan pencuri. Jika seseorang meyakini bahwa dermawan itu baik, maka mereka merespon positif terhadap para dermawan, dan bahkan mungkin ia akan menjadi dermawan.

Sekilas, di atas terlihat bahwa antara sikap dan perilaku ada kesamaan.
Oleh karena itu, psikolog sosial, seperti Morgan dan King, Howard dan
Kendler, serta Krech dkk., mengatakan bahwa antara sikap dan perilaku
adalah konsisten. Apakah selalu bahwa sikap konsisten dengan perilaku?
Seharusnya, sikap adalah konsisten dengan perilaku, akan tetapi karena
banyaknya faktor yang mempengaruhi perilaku, maka dapat juga sikap
tidak konsisten dengan perilaku. Dalam keadaan yang demikian terjadi
adanya desonansi nilai.


Para psikolog, di antaranya Morgan dan King, Howard dan Kendler, Krech,
Crutchfield dan Ballachey, mengatakan bahwa perilaku seseorang
dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan hereditas. Faktor lingkungan
yang mempengaruhi perilaku adalah beragam, di antaranya pendidikan,
nilai dan budaya masyarakat, politik, dan sebagainya. Sedang faktor
hereditas merupakan faktor bawaan seseorang yang berupa karunia
pencipta alam semesta yang telah ada dalam diri manusia sejak lahir,
yang banyak ditentukan oleh faktor genetik. Kedua faktor secara
bersama-sama mempengaruhi perilaku manusia. Jika kita ingin menumbuhkan
sikap, kita harus memadukan faktor bawaan berupa bakat dan faktor
lingkungan pendidikan dan belajar. Pandangan ini sejalan dengan hukum
konvergensi perkembangan yang menyeimbangkan antara faktor bawaan
dengan faktor lingkungan, tanpa mengorbankan satu faktorpun (Syah,
2002).

Jika seorang pendidik menginginkan menumbuhkan sikap sasaran didik,
seharusnya mengetahui bakat yang ada pada sasaran didik, keinginan
sasaran didik, nilai dan pengetahuan yang seharusnya didapat sasaran
didik, serta lingkungan lain yang kondusif bagi penumbuhan sikap
mereka, termasuk lingkungan politik. Keadaan ini sulit dilakukan,
tetapi harus diusahakan. Jika kita ingin pendidikan berkembang dan
bermanfaat bagi masyarakat, maka kita tidak boleh diam. Apapun
hasilnya, pendidik harus berusaha melakukan inovasi proses pendidikan.
Perlu disadari, bahwa segala sesuatu membutuhkan proses yang cukup
panjang untuk mencapai suatu keberhasilan.


Sebagaimana diketahui oleh umum, bahwa sistem pendidikan kita masih
bersandar pada prinsip, teori, dan konsep behavioristik. Konsep dan
teori terbut jika diaplikasikan dalam pendididikan kejuruan dan
profesi, sudah tidak relevan lagi. Model pendidikan klasikal, seperti
yang sekarang ini banyak diterapkan, berangkat dari konsep
behavioristik, sulit untuk menumbuhkan sikap wirausaha. Pada masa
pembangunan, seperti terjadi di negara kita pada saat ini, sangat
membutuhkan tenaga wirausahawan untuk mempercepat laju pertumbuhan
ekonomi nasional. Dengan demikian, manakala kita masih mempertahankan
model pendidikan behavioristik, kami yakin bahwa tidak akan mampu
menumbuhkan wirausahawan yang menjadi pelaku pembangunan ekonomi
nasional yang handal. Dengan demikian, perubahan sistem dan model
pendidikan, khususnya dalam pendidikan bisnis, perlu dilakukan.
Terutama mengarah pada pembelajaran kewirausahaan.


Komponen Sikap


Secara umum, dalam berbagai referensi, sikap memiliki 3 komponen yakni:
kognitif, afektif, dan kecenderungan tindakan (Morgan dan King, 1975;
Krech dan Ballacy, 1963, Howard dan Kendler 1974, Gerungan, 2000).
Komponen kognitif merupakan aspek sikap yang berkenaan dengan penilaian
individu terhadap obyek atau subyek. Informasi yang masuk ke dalam otak
manusia, melalui proses analisis, sintesis, dan evaluasi akan
menghasilkan nilai baru yang akan diakomodasi atau diasimilasikan
dengan pengetahuan yang telah ada di dalam otak manusia1. Nilai - nilai
baru yang diyakini benar, baik, indah, dan sebagainya, pada akhirnya
akan mempengaruhi emosi atau komponen afektif dari sikap individu. Oleh
karena itu, komponen afektif dapat dikatakan sebagai perasaan (emosi)
individu terhadap obyek atau subyek, yang sejalan dengan hasil
penilaiannya. Sedang komponen kecenderungan bertindak berkenaan dengan
keinginan individu untuk melakukan perbuatan sesuai dengan keyakinan
dan keinginannya. Sikap seseorang terhadap suatu obyek atau subyek
dapat positif atau negatif. Manifestasikan sikap terlihat dari
tanggapan seseorang apakah ia menerima atau menolak, setuju atau tidak
setuju terhadap obyek atau subyek.


Komponen sikap berkaitan satu dengan yang lainnya.
Dari manapun kita memulai dalam analisis sikap, ketiga komponen tersebut tetap dalam ikatan satu sistem. Sikap individu sangat erat kaitannya dengan
perilaku mereka. Jika faktor sikap telah mempengaruhi ataupun
menumbuhkan sikap seseorang, maka antara sikap dan perilaku adalah
konsisten, sebagaimana yang dikemukan oleh Krech dan Ballacy, Morgan
King, dan Howard.


Keterangan: komponen kognitif, afektif, dan kecenderungan bertindak merupakan suatu kesatuan sistem, sehingga tidak dapat dilepas satu
dengan lainnya. Ketiga komponen tersebut secara bersama-sama membentuk
sikap pribadi


Sikap seseorang seharusnya konsisten dengan perilaku. Seandainya sikap
tidak konsisten dengan perilaku, mungkin ada faktor dari luar diri
manusia yang membuat sikap dan perilaku tidak konsisten. Faktor
tersebut adalah sistem nilai yang berada di masyarakat, diantaranya
norma, politik, budaya, dan sebagainya. Dari penjelasan tersebut jelas
bahwa pendidikan bukan semata-mata tanggung jawab lembaga pendidikan.
Seluruh masyarakat dan intansi terkait harus menunjang pelaksanaan
pendidikan. Pendidikan haruslah diletakan pada kondisi dan situasi yang
benar-benar kondusif bagi jalannya proses pendidikan. Dengan cara
demikianlah, sebenarnya secara teoritis dan konseptual, tujuan
pendidikan tercapai. Sebaliknya, jika masyarakat dan seluruh instansi
politik dan pemerintahan tidak mernunjang, maka pendidikan akan
mengalami kegagalan. Oleh karena itu, pengembangan pendidikan merupakan
tanggung jawab seluruh warga bangsa, dan harus ditunjang oleh komitmen
politis dari seluruh warga bangsa-bangsa.


Keterangan: Ketiga komponen kognitif, afektif, dan kecenderungan bertindak secara bersama- sama membentuk sikap. Sikap secara konsisten mempengaruhi perilaku. Oleh karena itu, sikap seharusnya konsisten
mempengaruhi perilaku.Jika antara sikap tidak konsisten dengan
perilaku, maka terdapat sistem eksternal yang ikut mempengaruhi
konsistensi antara sikap dan perilaku.


Sikap dapat pula diklasifikasikan menjadi sikap individu dan sikap
sosial (Gerungan, 2000). Sikap sosial dinyatakan oleh cara-cara
kegiatan yang sama dan berulang-ulang terhadap obyek sosial, dan
biasanya dinyatakan oleh sekelompok orang atau masyarakat. Sedang sikap
individu, adalah sikap yang dimiliki dan dinyatakan oleh seseorang.
Sikap seseorang pada akhirnya dapat membentuk sikap sosial, manakala
ada seregaman sikap terhadap suatu obyek. Dalam konteks pemahasan ini,
sikap yang dimaksud adalah sikap individual, mengingat pendidikan yang
dihabahas dalam kajian ini menyangkut proses pendidikan secara
individual, mengingat keinginan, kebutuhan, kemampuan, motivasi,
sasaran didik sangat beragam. Untuk kajian lebih lanjut, periksa pada
bahasan proses pendidikan bisnis di bawah.


Sejalan dengan pengertian sikap yang dijelaskan di atas, dapat dipahami
bahwa:
1) sikap ditumbuhkan dan dipelajari sepanjang perkembangan orang
yang bersangkutan dalam keterkaitannya dengan obyek tertentu,

2) sikap merupakan hasil belajar manusia, sehingga sikap dapat ditumbuhkan dan
dikembangkan melalui proses belajar,

3) sikap selalu berhubungan dengan obyek, sehingga tidak berdiri sendiri,
4) sikap dapat berhubungan dengan satu obyek, tetapi dapat pula berhubungan dengan sederet obyek sejenis,

5) sikap memiliki hubungan dengan aspek motivasi dan perasaan
atau emosi (Gerungan, 2000).


Mengetahui karakter sikap semacam ini
sangat penting manakala kita akan membahas sikap secara cermat. Dari
sifat ini dapat diketahui bahwa sikap dapat ditumbungkan dan
dikembangkan, melalui proses pembelajaran siswa yang sesuai dengan
motivasi, dan keinginan mereka. Demikian juga, sikap harus diarahkan
pada suatu obyek tertentu, sehingga memudahkan mengarahkan belajar
siswa pada sasaran belajar yang sesuai dengan minat dan keinginannya.


Menumbuhkan dan Mengembangkan Sikap


Bagaiman sikap dapat ditumbuhkan? Seperti di atas dijelaskan, bahwa
sikap dapat ditumbuhkan dan dikembangkan melalui proses belajar. Dalam
proses belajar tidak terlepas dari proses komunikasi dimana terjadi
proses tranfer pengetahuan dan nilai. Jika sikap merupakan hasil
belajar, maka kunci utama belajar sikap terletak pada proses kognisi
dalam belajar siswa. Menurut Bloom, serendah apapun tingkatan proses
kognisi siswa dapat mempengaruhi sikap (Munandar, 1999). Namun
demikian, tingkatan kognisi yang rendah mungkin saja dapat mempengaruhi
sikap, tetapi sangat lemah pengaruhnya dan sikap cenderung labil. Kami
yakin, bahwa proses kognisi yang dapat menumbuhkan dan mengembangkan
sikap secara signifikan, sejalan dengan taksonomi kognisi Bloom, adalah
pada taraf analisis, sintesis, dan evaluasi. Pada taraf inilah
memungkinkan sasaran didik memperoleh nilai-nilai kehidupan yang dapat
menumbuhkan keyakinan yang merupakan kunci utama untuk menumbuhkan dan
mengembangkan sikap. Melalui proses akomodasi dan asimilasi
pengetahuan, pengalaman, dan nilai ke dalam otak sasaran didik, seperti
pendapat Pieget, pada gilirannya akan menjadi referensi dalam
menanggapi obyek atau subyek di lingkungannya.


Pertanyaan yang muncul, apakah semua informasi dapat mempengaruhi
sikap? Tidak semua informasi dapat mempengaruhi sikap. Informasi yang
dapat mempengaruhi sikap sangat tergantung pada isi, sumber, dan media
informasi yang bersangkutan (Morgan dan King, 1974; Howard, 1975).
Dilihat dari segi isi informasi, bahwa informasi yang menumbuhkan dan
mengembangkan sikap adalah berisi pesan yang bersifat persuasif. Dalam
pengertian, pesan yang disampaikan dalam proses komunikasi haruslah
memiliki kemampuan untuk mempengaruhi keyakinan sasaran didik, meskipun
sebenarnya keyakinan tersebut akan didapat siswa sendiri melalui proses
belajar. Seperti di atas telah disebutkan, bahwa untuk dapat memberikan
pesan yang persuasif kepada sasaran didik haruslah dibawa pada obyek
telaah melalui proses penganalisaan, pensintesisan, serta penilaian,
yang dilakukan sasaran didik untuk memperoleh keyakinan. Langkah ini
akan dapat berhasil manakala dilaksanaan secara individual, dan dibawa
ke model belajar sambil bekerja yang selaras dengan motivasi, minat dan
bakat sasaran didik. Dengan demikian, proses belajar-mengajar klasikal,
misalkan dengan ceramah, efektivitas dalam menumbuhkan sikap perlu
dipertanyakan.


Sumber informasi sangat berpengaruh pada penumbuhan sikap. Di samping
informasi dari buku teks, mungkin juga dari fakta empirik, guru atau
pendidik juga merupakan sumber belajar. Kualitas sumber informasi
sangat berpengaruh pada penumbuhan keyakinan siswa. Karena itu kualitas
informasi sangat menentukan perolehan pengalaman yang memandai, yang
dibutuhkan untuk mengembangkan cakrawala pandang. Demikian juga fakta
empirik, harus diberikan. Fakta empirik merupakan informasi sekaligus
bahan belajar yang sangat berharga yang dapat dipelajari, dianalisis
oleh siswa untuk memperoleh pengalaman dan untuk menambah keyakinan
mereka. Di samping itu, guru juga memiliki peranan yang kuat dalam
menumbuhkan sikap, karena gurulah yang berkomunikasi langsung dan
sekaligus merupakan preferensi bagi siswa. Oleh karena itu, kualitas
guru, baik dilihat dari kemampuan, keluasan wawasan, pengusaaan
pengetahuan teoritis dan praktis diperlukan. Di sinilah peran guru
sebagai fasilitator, inovator, motivator, dapat dimainkan.


Dengan demikian, dalam model belajar yang diharapkan di sini membutuhkan
keragaman sumber informasi. Dengan sumber informasi yang beragam siswa
dapat menentukan pilihan yang sesuai dengan minat, motivasi, serta
bakat mereka. Dengan cara inilah, siswa dapat menemukan sendiri
pengetahuan dan informasi yang akan mereka gunakan untuk penganalisaan
situasi dan fakta untuk mendapatkan nilai-nilai yang bermanfaat bagi
hidupnya.

Selanjutnya, tentang media, bahwa tidak setiap media informasi dapat
mempengaruhi sikap siswa. Karena itu adalah mutlak bagi guru untuk
mencari buku teks maupun sejenisnya yang dapat mempengaruhi keyakinan
siswa. Banyak buku teks yang isinya terlihat diam dan menjemukan. Tidak
menumbuhkan gairah keingin tahuan, dan tidak dapat mempersuai pembaca.
Isi buku teks hanyalah suatu onggokan konsep dan teori yang boleh
dikata, kurang ada manfaatnya bagi hidup. Oleh karena itu, media
informasi haruslah di cari oleh guru yang benar-benar bisa menumbuhkan
gairah keingin tahuan siswa dan bersifat persuasif. Dengan demikian, di
samping buku teks, media informasi lain harus dicari. Banyak buku-buku
fiksi, biografi (misalkan cash-flow Quadrant, chicken shop, Business
Combat), ceritera persaingan Pepsi-Colla dengan Coca-Colla, Raja
Komputer AS Bill Gates, bagaimana perusahaan multinasional dapat
mempengaruhi perekonomian dunia, dan sebagainya.



Mungkin juga hasil-hasil penelitian yang dipublikasikan dalam internet, jurnal
ilmiah, dan sebagainya dapat dimanfaatkan. Kreativitas guru dalam
menumbuhkan keyakinanan siswa sehingga sikap dapat dibentuk seperti
yang harapan siswa sangatlah dibutuhkan, terlebih-lebih lagi jika
dikaitkan dengan usaha untuk menumbuhkan motivasi dan keinginan yang
kuat untuk berkembang, ulet, berani mengambil risiko, selalu
mengansipasi perubahan, dan sebagainya. Orientasi guru tidak lagi
berorientasi pada apa yang diharapkan guru, penumpukan konsep dan
materi yang berlebihan yang tidak ada manfaatnya bagi hidup, tetapi
harus beorientasi pada apa yang siswa harapkan dan pengetahuan yang
benar-benar bermanfaat bagi hidup siswa pada masa mendatang. Dengan
cara inilah kemungkinan besar pendidikan dapat membawa ouputnya yang
benar-benar memiliki keunggulan, inovatif, jika terjun dalam dunia
kerja.


Kapan Sikap Ditumbuhkan


Sikap dapat tumbuh selama manusia hidup. Sepanjang hidupnya, manusia belajar tidak pernah berhenti.

Proses akomodasi dan asimilasi pengetahuan, dan pengalaman, berlangsung
sepanjang hidup manusia. Dalam proses yang panjang inilah nilai-nilai
hidup didapatkan oleh manusia, yang kemungkinan besar akan dapat
menumbuhkan sikap mereka terhadap subyek atau obyek. Periode kritis
penumbuhan seseorang terjadi pada usia 12 tahun sampai 30 tahun (Sear
dalam Morgan dan King, 1974). Jika pendapat Sear ini dianut, maka
penumbuhan sikap yang paling tepat ketika usia Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama (SLTP), sampai dengan Perguruan Tinggi (PT), setelah itu sikap
akan tumbuh melalui belajar dan pengalaman pribadi masing-masing. Perlu
dipahami, bahwa dalam hidup belajar lebih banyak ditentukan oleh diri
sendiri dari pada di bangku sekolah. Namun demikian, sudah menjadi
kewajiban bagi sekolah untuk menumbuhkan sikap dasar yang bermanfaat
bagi hidup sasaran didik. Selanjutnya, di luar bangku sekolah, sikap
akan dikembangkan sendiri oleh yang bersangkutan.


Lebih lanjut Sear mengatakan, bahwa setelah usia 30 tahun sikap relatif
permanen sehingga sulit berubah (dalam Morgan dan King, 1974). Dari
sini terlihat betapa pentingnya peletakan sikap dasar di sekolah,
mengingat bahwa usia pembentukan sikap dasar ketika siswa ada pada SLTP
sampai dengan PT. Oleh karena itu, jika kita sadar akan tanggung
sebagai pendidik, dan menyadari usia yang memungkinkan sikap dapat
ditumbuhkan, maka sudah seharusnya kita tidak menyia-nyiakan waktu
tersebut untuk menumbuhkan sikap dasar siswa yang benar-benar ada
manfaatnya bagi hidupnya maupun bagi bangsa dan negara.


Kendala Menumbuhkan Sikap


Kendala penumbuhan sikap terjadi ketika ada benturan nilai yang
diyakini seseorang dengan nilai yang berkembang di masyarakat. Semua
institusi dalam masyarakat harus dapat menunjang pendidikan. Artinya,
masyarakat secara menyeluruh harus memberikan dukungan terhadap proses
pendidikan bisnis. Akan tetapi, dalam kenyataannya, di negara yang
sedang berkembang seperti Indonesia, pendidikan bisnis mungkin
mengalami hambatan sosio-budaya, seperti yang dikemukan oleh Jinghan
(1999). Bahkan banyak ahli ekonomi yang mengatakan bahwa di negara
sedang berkembang memiliki ciri yang mendua, di samping menganut faham
ekonomi liberal juga menganut faham sosial (ekonomi campuran). Sifat
mendua inilah yang merupakan kedala bagi kemajuan ekonomi negara dunia
ketiga (Todaro, 1997; Jinghan, 1999). Mungkin sifat mendua inilah yang
merupakan salah satu kendala bagi penumbuhan sikap wirausaha di
Indonesia.

Nilai sosio-budaya feodal yang diwarisi dari penjajahan Belanda sangat
kita rasakan pengaruhnya pada orang tua dan senior kita. Mereka sangat
menyukai kemapanan dan alergi terhadap perubahan. Mereka lupa bahwa
tanpa perubahan tidak akan ada perkembangan. Semuanya akan terlihat
statis. Kondisi semacam ini telah diungkap oleh Todaro bahwa budaya
dari penjajahan negara-negara Eropa sangat mempengaruhi pembangunan di
negara dunia ke tiga, termasuk Indonesia (Todaro, 1977). Keinginan
orang tua agar anak menjadi pegawai negeri merupakan bukti konkrit
bahwa budaya feodal yang merupakan warisan dari penjajah sebagai suatu
kendala perkembangan bangsa kita. Mungkin saja anak memiliki jiwa dan
sikap positif terhadap wirausaha, akan tetapi mungkin mengalami
benturan nilai dengan orang tua, sehingga anak terpaksa menjadi
pengawai negeri.


PROSES PENDIDIKAN WIRAUSAHAWAN

Proses pendidikan tidak lepas dengan peroses pembelajaran. Pembelajaran adalah suatu usaha untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi belajar siswa (Gagne dan Briggs, 1974). Dari batasan ini tampak bahwa proses dalam belajar dan
pembelajaran sasaran utamanya adalah pada proses belajar sasaran didik
atau siswa. Demikian juga dalam Quantum Learning, maupun Revolusi Cara
Belajar, dalam pendidikan harus mengutamakan belajar siswa secara
aktif. Degeng (2001) juga mengatakan bahwa sasaran pendidikan adalah
belajar siswa, bukan semata-mata pada hasil belajar siswa.


Dari berbagai pendapat di atas terlihat bahwa seharusnya dalam proses
belajar dan pembelajaran yang memiliki peran aktif adalah siswa, bukan
guru. Guru sebagai fasilitator berperan untuk menciptakan suasana dan
lingkungan sekitar yang dapat menunjang belajar siswa sesuai dengan
minat, bakat, dan kebutuhannya. Dengan kata lain, dalam berbagai
referensi yang sekarang sedang ramai dibicarakan, adalah proses
pembejaran individual, atau individual learning. Mengapa demikian?
Siswa memiliki minat, bakat, dan kebutuhan yang berbeda. Sudah
sehrusnya faktor ini diperhatikan dalam proses pendidikan. Oleh karena
itu, model pembelajaran klasikal sudah tidak cocok lagi. Pembelajaran
harus terfokus pada belajar individual cocok (Porter dan Hernacki,
2002; Dreden dan Vos, 2001). Demikian pula dalam pendidikan binis
belajar individual perlu dilaksanakan. Dalam pendidikan wirausahawan
ada beberapa langkah penting yang perlu untuk dilakukan :


Minat, Motivasi, dan Tujuan Belajar

Mengetahui Minat, Motivasi, dan Tujuan Belajar Siswa
Seperti di atas telah disinggung, bahwa dalam proses pendidikan kita harus
memiliki pengertian bahwa kita melayani keinginan dan kebutuhan siswa.
Oleh karena itu, dalam proses belajar-pembelajaran harus memiliki
karakteristik untuk melayani keinginan dan kebutuhan siswa, bukan
transformasi pengetahuan menurut selera sekolah maupun pendidik. Jika
materi yang dipelajari siswa relevan dengan minat, motivasi, dan tujuan
belajar mereka, maka akan dapat menumbuhkan gairah belajar, kreativitas
berfikir, dan karya siswa. Meskipun hasil belajar bukan merupakan
sasaran utama pendidikan seperti yang dikatakan Degeng, sudah
seharusnya bahwa keberhasilan belajar diketahui. Oleh karena itu,
sasaran dari langkah pertama adalah hasil belajar siswa, yakni dapat
menjadi pribadi yang mereka inginkan.


0 komentar: